MARAKNYA SUBORDINASI TERHADAP PEREMPUAN DAN ANALISANYA DALAM PERSPEKTIF PANCASILA

Published by rkim on

Oleh: Andieni Fauziah Rahmah, Lu’lu’ Mufidah Rahma Putri, Meildha Alfriyani Tarigan

Secara garis besar subordinasi perempuan berarti penempatan kaum perempuan pada kedudukan yang lebih rendah atau “penomorduaan” dalam berbagai urusan, baik di masyarakat maupun di lingkungan kerja. Hadirnya masalah ini tidak lepas dari anggapan bahwa perempuan masuk ke dalam kategori makhluk yang tidak berdaya, lemah, dan lebih rendah kedudukannya dibandingkan kaum laki-laki. Selain itu, perbedaan fungsi dan peran gender di kebudayaan masyarakat Indonesia turut berkontribusi dalam memperkuat anggapan tersebut. Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat (2010) menjelaskan bahwa pemikiran masyarakat yang menganggap bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah, tidak mempunyai kompetensi untuk memimpin, terlalu emosional, dan seterusnya mengakibatkan perempuan kurang diutamakan dibandingkan laki-laki.

Peran setiap gender sebenarnya ada untuk saling melengkapi. Akan tetapi, beberapa orang seringkali mengurangi atau melebih-lebihkan peran tersebut. Dari hal tersebut, kita dapat melihat bahwa perbedaan peran dan stereotip laki-laki dengan perempuan adalah manifestasi dari kebudayaan di masyarakat yang terus berkembang seiring waktu. Misalnya saja, perempuan selalu dilimpahi tanggung jawab rumah tangga seperti mencuci, menyetrika, memasak, dan menjaga anak serta selalu dituntut untuk cantik, lemah lembut, dan penyayang. Sebaliknya, laki-laki selalu memegang peranan-peranan utama di masyarakat seperti menjadi pemimpin.

Masalah ini tentu amat merugikan dan juga menghalangi kaum perempuan untuk bangkit dalam memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki. Dalam berbagai sektor seperti pendidikan, politik, dan juga karir, perempuan selalu dituntut untuk mengalah dengan laki-laki jika dihadapkan pada pilihan untuk maju ke tingkat yang lebih tinggi. Padahal, sejatinya perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan dan hak-hak yang sama untuk ditegakkan baik dari sisi agama maupun hukum seperti yang tertera dalam Pasal 3 ayat (3) UU RI No.39 tahun 1999 yang dengan jelas menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi”. Hal itu menyebabkan timbulnya dorongan untuk memperjuangkan kesetaraan gender yang terus berkembang hingga saat ini sebagai paya menjunjung tinggi hak-hak perempuan sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Penyebab dari maraknya subordinasi menjadi isu yang memiliki urgensi untuk diperhatikan. Beberapa faktor yang menjadi cikal-bakal eksistensi subordinasi perempuan yang tak kunjung memudar di Indonesia, yaitu:

1. Faktor Budaya

Di lingkungan pedesaan, khususnya yang masih memegang teguh adat dan budaya, anak laki-laki biasanya mendapat lebih banyak keutamaan daripada anak perempuan. Seorang perempuan dalam anggota keluarga umumnya tidak mempunyai hak yang sama kuat dengan laki-laki dalam hal pengambilan keputusan. Kekuasaan mutlak terhadap kehidupan seorang perempuan umumnya ada di tangan laki-laki, baik itu suami maupun ayahnya. Selain itu, kebudayaan di Indonesia kerap menekankan bahwa perempuan tidak perlu menuntut ilmu sebab bagaimanapun juga, mereka akan berakhir dengan mengurus rumah, dapur, dan anak.

2. Tingkat Pendidikan yang Rendah

Perempuan di Indonesia sebenarnya memiliki kemauan yang besar untuk meraih pendidikan tinggi demi kesejahteraan di masa depan. Namun, cita-cita itu seringkali harus kandas sebab peran perempuan sebagai seorang ibu yang mengurus ranah domestik saja. Data nasional mencatat 65% dari anak yang tidak melanjutkan pendidikan adalah anak perempuan. Sementara itu, sebuah survei menunjukkan bahwa perempuan yang tidak mendapatkan pendidikan berjumlah dua kali lebih besar dari laki-laki. Ketimpangan ini jelas menunjukkan bahwa perempuan kerap dipandang sebelah mata. Padahal, bukan tidak mungkin jika perempuan mampu bersaing lebih baik daripada laki-laki apabila diberi kesempatan yang sama.

3. Kesadaran akan Kesetaraan Gender yang Masih Lemah

Kebijakan-kebijakan yang terdapat pada kelembagaan negara ternyata belum secara maksimal mendukung kesetaraan gender. Resolusi politik yang menaungi kesetaraan gender dibutuhkan dalam kebijakan kelembagaan negara tersebut.

4. Perempuan Dituntut untuk Selalu Mengalah

Mengurus keluarga umumnya menjadi alasan utama yang menyebabkan perempuan harus mengalah. Mimpi para perempuan untuk meraih gelar sarjana atau menjadi orang berpengaruh sering tertunda bahkan terpinggirkan karena perannya sebagai seorang ibu. Untuk mencegah hal tersebut, dibutuhkan manajemen yang lebih baik dalam rumah tangga sehingga anak perempuan juga memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan diri.

5. Kesepakatan dalam Rumah Tangga

Dalam beberapa kasus, sebelum menikah biasanya laki-laki akan memberikan kesepakatan atau syarat kepada pasangannya. Misalnya, jika ingin menikah dengan laki-laki tersebut, maka seorang perempuan harus mengurus rumah tangga saja. Kesepakatan seperti ini lantas membatasi gerak dan kemandirian seorang perempuan dalam berkembang.

6. Pemahaman Ajaran Agama yang Salah

Fenomena awam religius yang berkembang di Indonesia menyebabkan pemahaman agama yang salah ikut tersebar luas. Umumnya orang-orang seperti ini hanya mempelajari ilmu agama dari permukaannya saja tanpa dibarengi dengan kajian lebih lanjut. Pemahaman bahwa wanita tidak boleh bekerja dan berpendidikan tinggi dengan alasan bahwa wanita harus menjaga pandangan serta beribadah di dalam rumah saja adalah pemahaman yang salah.

Salah satu bagian penting yang termasuk dalam hak asasi manusia ialah hak asasi perempuan. Pengakuan mengenai hak asasi perempuan dapat dilihat pada berbagai sistem hukum, baik hukum nasional maupun internasional.  Penjelasan mengenai hak-hak perempuan secara Nasional telah dimuat dalam bagian ke-9  Pasal 45-51 UU RI No. 39 Tahun 1999, antara lain:

1. Bidang Politik

Menurut instrumen-instrumen internasional. Dalam bidang politik, sejatinya perempuan memegang hak yang tidak berbeda dengan laki-laki. Perempuan memiliki hak untuk ambil bagian untuk merumuskan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Perempuan juga berhak memilih serta dipilih dalam pemilu. Selain itu, perempuan dapat berpartisipasi dalam organisasi dan himpunan-himpunan sosial baik non pemerintahan maupun pemerintahan serta politik di suatu negara.

2. Bidang Kewarganegaraan

Hak perempuan untuk memiliki kewarganegaraan terdapat dalam bidang kewarganegaraan terdapat pada bahasan umum dalam Pasal 15 DUHAM dan juga UU RI No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Sebagai warganegara, perempuan berhak mendapatkan kewarganegaraan di negara yang dia tinggali. Tentunya, hal ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat seputar kepengurusan kewarganegaraan.

3. Bidang Ketenagakerjaan

Baik sebelum maupun sesudah melakukan suatu profesi, perempuan memiliki hak-hak yang harus mereka dapatkan. Perempuan memiliki hak untuk mendapatkan peluang untuk memilih suatu profesi yang cocok dengan kemampuannya tanpa diskriminasi apapun. Ketika sudah mendapatkan pekerjaan, perempuan berhak mendapatkan lingkungan kerja yang aman, mendapatkan pelatihan  untuk meningkatkan kualitas pekerjaan, upah yang sesuai dengan usaha dan kerja kerasnya dalam bekerja, serta hak untuk naik jabatan.

4. Bidang Kesehatan

Perempuan berhak mendapat jaminan perlindungan dan kesehatan yang lebih khusus. Hal ini berkaitan dengan kesehatan wanita yang rentan terutama dalam fungsi organ reproduksinya. Dalam beberapa wawancara yang dipublikasikan, Najwa Shihab sebagai narasumber menjelaskan bahwa kodrat wanita hanya ada tiga, yaitu menstruasi, hamil dan melahirkan, serta menyusui. Keadaan tersebut dapat membuat wanita begitu lemah, ditambah lagi, fisik wanita umumnya memang tidak sekuat laki-laki.

5. Bidang Pemutusan Ikatan atau Perceraian

Kedua belah pihak, memiliki hak yang sejajar dalam pembagian harta dengan jumlah yang adil. Baik perempuan dan laki-laki juga mempunyai kewajiban yang sama dalam hal mengasuh anak.

6. Bidang Pendidikan

Dasar terpenting bagi kehidupan manusia adalah pendidikan dan pendidikan paling awal yang diterima oleh seorang anak berasal dari ibunya. Inilah urgensi utama dalam hal pendidikan dan pengajaran bagi perempuan. Berbekal pendidikan yang baik, setiap orang dapat meningkatkan taraf hidup, baik dari segi ekonomi, kualitas pemikiran, serta perilaku. Dengan demikian mendapatkan pendidikan merupakan hak bagi semua orang termasuk perempuan.

Selain mendapatkan pendidikan, perempuan juga memiliki hak untuk mendidik dan mengajar tanpa diskriminasi apapun. Dalam sudut pandang Pancasila, masalah ini berkaitan dengan sila kedua butir kedua yang berbunyi: “(2) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya”. Dengan demikian, apabila suatu pihak melakukan diskriminasi atas dasar perbedaan jenis kelamin, maka hal tersebut merupakan suatu diskriminasi terhadap pihak lainnya hingga menyebabkan kerugian baik mental maupun finansial. Selain itu, hal ini juga dipertegas dalam sila kelima butir kedua hingga keempat yaitu: “(2) Mengembangkan sikap adil terhadap sesama. (3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. (4) Menghormati hak orang lain.”

Pemahaman untuk menghormati hak setiap gender jelas perlu ditanamkan pada generasi yang akan datang agar masalah seperti ini tidak terulang sehingga setiap lapisan masyarakat dapat mengembangkan potensi terbaik yang mereka miliki tanpa khawatir akan diskriminasi. Pemerintah daerah setempat juga harus memberikan perhatian terhadap perempuan dalam membuat setiap kebijakan serta memberikan tempat bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pembahasan kebijakan tersebut terutama yang berkaitan dengan lembaga pendidikan dan keagamaan. Selain itu, diperlukan juga Undang-undang yang melindungi perempuan dan tidak merugikan laki-laki (Kono, 2006). Sosialisasi mengenai UU yang dirumuskan diperlukan agar masyarakat dapat memperoleh pengetahuan mengenai ketidaksetaraan gender yang sedang terjadi. Sebagai tambahan, keseimbangan gender harus diterapkan dalam berbagai instansi publik dan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan juga agama. Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia juga menyarankan beberapa kebijakan yang dapat dilakukan demi meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia, seperti; (1) Menciptakan kebijakan untuk menyejajarkan kesempatan pendidikan yang berkualitas dan berwawasan gender bagi tiap anak.(2) meningkatkan kinerja dan kualitas pendidikan baik  formal maupun informal pada tiap jenjang demi menurunkan tingkat buta huruf, terutama bagi perempuan. (3) Mengadakan edukasi kesetaraan dan literasi untuk penduduk dewasa, terutama perempuan. (4) Mengelola dan mensosialisasikan pendidikan berwawasan gender.

DAFTAR PUSTAKA

Kania, D. (2015). Hak asasi perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia: The rights of women in Indonesian laws and regulations. Jurnal Konstitusi, 12(4), 716-734.

Krisnalita, L. Y. (2018). Perempuan, Ham dan Permasalahannya di Indonesia. Binamulia Hukum, 7(1), 71-81.

Natasha, H. (2013). Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab, Dampak, dan Solusi. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender, 12(1), 53-64.

Ritonga, M. A. P. (2020). Subordinasi dan Marginalisasi Perempuan dalam Kancah Dakwah (Studi Kasus Tokoh Agama (Da’i dan Da’iyah) dan Tokoh Adat di Masyarakat Kecamatan Dolok, Padang Lawas Utara). (Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *